Saturday 20 October 2012

Memori Salak





Saat ini sebagian orang beranggapan bahwa, kecuali karena tuntutan pekerjaan atau terpaksa, berpetualang dialam bebas adalah pekerjaan sia-sia, merugikan diri sendiri, berbahaya, bahkan tidak berguna. Tetapi, sebagian lagi beranggapan sebaliknya. Di alam bebas bisa temukan ketenangan. Di alam bebas kita bisa tahu kawan dan lawan Di alam bebas kita bisa tambah pengetahuan. Di alam bebas kita bisa menghayati kebesaran Tuhan. Di alam bebas pula kita bisa menghargai kehidupan. Saya sependapat dengan yang kedua, bagaimana dengan Anda?

Sekitar tiga tahun yang lalu, tepatnya di penghujung tahun 2007, masih teringat dibenakku sebuah kejadian yang hampir merenggut nyawa temanku. Berawal dari obrolan-obrolan biasa di sekolah, aku bersama kedua temanku memutuskan untuk menghabiskan liburan akhir tahun kali ini dengan kembali merasakan nikmatnya sentuhan alam.
Sepulang dari ujian akhir seperti biasa kami nongkrong dulu di warung dekat sekolah untuk sekedar bercanda dan mengobrol sejenak karena cuaca siang itu panas sekali. “Woy liburan taun baru pada mau kemana nih cuy?”, celetuk Sadunk memecah kebuntuan siang itu. Sontak yang lain pun menjawab sekenanya. Ada yang pulang kampung, ada yang di rumah saja, ada juga yang jalan-jalan. Tiba-tiba  si Ncek nyahut, “ Eh gimana kalo kita naek gunung aja cuy? Ke salak aja ga usah jauh-jauh. Gimana nih?”. Langsung saja aku mengiyakan ajakan dari si Ncek. Sadunk pun begitu, Ia setuju untuk bergabung dengan kami.
Tanpa pikir panjang akhirnya kami pun bergegas pulang ke rumah masing-masing untuk bersiap-siap. Kami pun sepakat untuk berkumpul lagi di lampu merah dekat pintu tol Cibitung. Aku, Sadunk, dan Ncek adalah teman satu sekolah waktu di SMA. Kami mempunyai hobi yang sama yaitu jalan-jalan. Bedanya aku menyalurkan hobi tersebut dengan mengikuti organisasi pecinta alam yang ada di sekolah sedangkan Sadunk dan Ncek hanya ikut sebagai simpatisan saja. Jadi wajar saja kalau setiap kali ada libur kami selalu mencari tempat-tempat baru untuk melepas penat kami dengan  kembali lagi bergelut dengan alam.
Singkat cerita setelah adzan ashar kami semua sudah berkumpul kembali dengan membawa perlengkapan masing-masing. Walaupun dengan uang yang pas-pasan dan logistic yang seadanya, kami tetap nekat untuk berangkat karena hasrat untuk kembali merasakan dinginnya udara pegunungan yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Untuk menuju ke lokasi pun kami hanya berbekal mulut untuk bertanya dengan orang-orang yang ada di bus karena kami belum pernah ada yang pergi ke Gunung Salak. Setelah dua jam perjalanan akhirnya kami pun turun di pertigaan javana spa sesuai saran dari orang yang kami tanyai tadi di bus. Sebelum melanjutkan perjalanan kami mampir dulu ke minimarket untuk membeli gas hi-cook yang akan digunakan sebagai bahan bakar dari kompor lapangan yang kami bawa. Ternyata stok di minimarket tersebut sudah habis. Kami pun memutuskan untuk membelinya nanti sewaktu di camping ground saja karena hari sudah semakin larut.
Dengan sedikit menggunakan logat sunda aku mencoba menawar harga angkot yang akan kami tumpangi. Ternyata trik ini berhasil dan kami pun bisa menghemat pengeluaran. Perjalanan menuju camping ground didominasi dengan tikungan-tikungan tajam yang cukup membuat adrenalin terpacu. Udara dingin pun perlahan mulai menusuk kulit badan yang hanya dilapisi oleh kaos oblong. Malam pun akhirnya menyambut kedatangan kami di kaki Gunung Salak . Suara ngengat pun santer terdengar memecah kesunyian di tengah rimbunnya hutan pinus yang berjajar di pinggir jalan.
Akhirnya malam ini kami putuskan untuk mendirikan tenda dan menginap di pinggir curug yang terletak sekitar 200 meter dari camping ground. Sementara Sadunk dan Ncek memasang tenda, aku keliling untuk mencari gas hi-cook yang belum kami dapat. Sudah sekitar setengah jam aku berkeliling mencari, namun hasilnya tetap nihil. Kami pun sempat ragu untuk melanjutkan pendakian pada esok hari karena belum mendapat gas hi-cook tersebut. Namun ternyata dewi fortuna masih berpihak pada kami, pagi hari ketika aku terbangun, Ncek sudah sibuk memasak sarapan. “Gas dari mana cek?”, tanyaku. Ternyata kami mendapat gas pemberian dari seorang peneliti kupu-kupu dari LIPI yang baru saja menyelesaikan penelitainnya selama seminggu di camping ground.
Tepat pukul 09.00 kami mulai pendakian menuju pos pertama, yaitu simpang bajuri. Kami tidak sendirian kali ini, ada rombongan kawan-kawan dari Jakarta yang ikut bergabung sehingga membuat perjalanan semakin seru. Namun sayang, cuaca kali ini kurang bersahabat karena hujan turun rintik-rintik sejak dari awal kami memulai perjalanan.Setelah kurang lebih satu jam berjalan akhirnya kami sampai di pos pertama, simpang bajuri, persimpangan antara jalur menuju kawah ratu dan jalan menuju puncak Gunung Salak. Hujan lebat akhirnya menyambut kedatangan kami saat itu, beruntung masih ada sebuah warung yang bisa kami jadikan untuk tempat berteduh. Di warung tersebut kami memesan kopi dan gorengan sambil menunggu hujan reda. Namun hingga sore menjelang hujan tak kunjung reda, rombongan lain pun satu per satu mulai membatalkan pendakiannya dan kembali ke camping ground  atau hanya melanjutkan ke kawah ratu saja.
Tetapi kami tetap pada pendirian kami untuk tetap melanjutkan perjalanan walaupun banyak orang yang menyarankan untuk membatalkannya karena cuaca buruk yang tidak menentu . Namun semua itu tidak menjadi halangan karena dari awal tekad kami sudah bulat dan kami yakin kalau kami bisa. Setelah cuaca agak reda kami pun melanjutkan perjalanan kembali. Estimasi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak adalah sekitar tiga jam menurut referensi dari teman pendaki yang sebelumnya kami temui. Namun kali ini kondisinya berbeda, maka dari itu kami hanya menargetkan untuk berjalan sekuatnya hingga menemukan tempat yang cukup landai untuk mendirikan tenda.
Kondisi tanah yang gembur ditambah guyuran hujan membuat jalur yang kami lewati tak ubahnya seperti medan lumpur yang siap menghadang kami sepanjang jalan. Kami pun harus ekstra hati-hati dalam melangkah kalau tidak mau terperosok ke dalam lumpur yang cukup dalam. Batang-batang pohon kami jadikan pegangan untuk menjaga keseimbangan dalam berjalan. Hujan yang semakin deras memaksa kami berhenti sejenak untuk memakai raincoat agar baju dan perlengkapan yang kami bawa tidak basah. Hari pun mulai larut, nafas kami juga mulai terengah-engah mengingat semakin tipisnya udara di ketinggian seperti ini. Jarak pandang pun hanya beberapa meter karena tertutup oleh kabut yang tebal.
Sebagai leader aku memutuskan untuk berhenti di sebuah tempat yang cukup landai dan mendirikan tenda karena kondisi tim yang sudah tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan kembali. Udara dingin yang menusuk tulang membuat Sadunk menjadi apatis. Dia hanya berdiam diri saja sejak tadi kami berhenti. Wajahnya pun pucat pasi dan giginya yang bergetar seperti orang menggigil. “ Wah Cek, si Sadunk kena hipothermia tuh”, teriak aku kepada si Ncek. Hipothermia adalah penurunan suhu tubuh secara drastis karena pengaruh udara dingin di sekitarnya.
Setelah tenda selesai terpasang kami bergegas memasukkan barang-barang dan mengganti baju Sadunk yang kebasahan. Ncek pun memasak air panas ditambah rebusan jahe untuk menghangatkan tubuh kami yang sedang kedinginan. Sedangkan aku mengeluarkan sleeping bag dan baju kering untuk Sadunk. Setelah berganti dengan baju yang kering, Aku dan Sadunk masuk ke dalam satu sleeping bag yang sama. Tujuannya adalah untuk membagi panas tubuh kepada si korban, dalam hal ini si Sadunk. Sebelumnya aku tidak pernah melihat Dia seperti ini, analisisku mungkin ini disebabkan karena kondisi Sadunk yang dari tadi pagi belum makan (baca: hanya makan makanan ringan). Perutnya yang kosong ditambah udara dingin menyebabkan kondisinya menurun secara drastis.
Cuaca betambah buruk malam itu, hujan turun dengan sangat lebat sehingga air mulai menetes ke dalam tenda kami karena tidak mampu menahan beban debit air yang terus mengguyur sepanjang malam. Petir pun menggelegar memecah keheningan malam. Angin juga bertiup sangat kencang menyebabkan tenda kami bergoyang-goyang. Diluar terdengar suara pohon tumbang, aku periksa sebentar keluar , ternyata pohon yang tumbang hanya berjarak sekitar 10 meter dari tenda kami. ”Alhamdulillah, syukurlah!!!”, ucapku dalam hati sambil mengelus dada.
Malam itu aku hanya bisa berdoa dan terus berdoa memohon perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa. Baru pertama kali aku merasakan badai yang sedahsyat itu, Yang aku pikirkan adalah kondisi temanku, Sadunk. Sorotan matanya sudah kosong, badannya pun masih terus menggigil. Aku pun mempererat pelukanku agar panas tubuhku cepat meresap ke dalam tubuhnya. Ncek pun membantu dengan mengompres kepala Sadunk dengan air hangat. Sekuat tenaga malam itu kami kerahkan untuk saling menguatkan satu sama lain. Dan secara perlahan tanpa sadar akhirnya kami tidur terlelap dalam hangatnya kebersamaan.
Kicauan burung akhirnya membangunkan kami pagi itu. Rona bahagia nampak jelas terpancar dari wajah Sadunk. Alhamdulillah akhirnya Dia sudah sembuh kembali. Kami pun lebih bersemangat untuk melanjutkan perjalanan ke puncak karena kondisi tim semuanya sudah fit kembali. Dengan membawa bekal secukupnya kami begegas melanjutkan perjalanan, sementara tenda dan perlengkapan lainnya kami tinggal saja dengan pertimbangan efisiensi waktu.
Jalur yang kami lewati kali ini lebih terjal, kami harus naik dengan menggunakan  bantuan tali karena kemiringan medan   yang mencapai 45 derajat. Lepas dari itu, kami harus melewati jalan yang lebarnya hanya sekitar setengah meter. Di kanan kiri jalan tersebut merupakan jurang. Maka dari itu kami harus berjalan dengan teknik moving together agar jika ada satu orang yang jatuh, yang lain bisa menjadi backup­-nya.
Namun sekitar 200 meter menjelang puncak konflik terjadi. Sadunk meminta untuk kembali ke camp saja karena Ia sudah tidak kuat untuk melanjutkan perjalanan lagi. Sontak si Ncek marah dan memaksa Sadunk untuk melanjutkan perjalanan kembali karena puncak sudah dekat. Disini sifat ego masing-masing mulai timbul, Sadunk dan Ncek tetap pada pendiriannya masing-masing dan tidak ada yang mau mengalah. Akhirnya berkelahilah mereka saat itu juga di depanku. Aku hanya membiarkannya saja sambil tertawa sinis melihat mereka berkelahi. Baru setelah beberapa kali saling pukul, aku memisahkan mereka.”Sebenernya lu pada kesini mau ngapain sih? Mau berantem apa mau seneng-seneng?”, teriakku. Mereka hanya tertunduk dan tidak bisa menjawab.
Bukanlah puncak gunung yang ingin kami taklukan, tetapi hati dan jiwa ini. Gunung tidak akan pernah tertaklukan. Dia akan tetap kokoh berdiri di tempatnya.
Sadunk merasa dirinya lemah padahal sebenarnya dia bisa. Hanya masalah mentalnya saja yang masih terlalu lemah, mudah goyah oleh sedikit gesekan. Sementara Ncek hanya memikirkan egonya sendiri tanpa memikirkan kondisi orang lain. Inilah yang aku harapkan, di alam semuanya natural, tampak seperti apa adanya tidak ada yang bisa ditutup-tutupi.
Tepat pukul 12.00 akhirnya kami berhasil menginjakkan kaki ini di puncak tertinggi Gunung Salak. Kami bertiga pun melakukan sujud syukur, sebagai tanda terima karena masih diberikan keselamatan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Ketika sampai di rumah seorang teman bertanya (dan saya menjawab dengan sekenanya)



Apa sih gunanya keluar masuk hutan,
berjalan ditempat sunyi, sendirian lagi
Saat itu saya menjawab,
Ini masalah perasaan
Tiap orang berbeda,
Didalam hutan saya merasa tenang, Senang, bahagia
Mungkin sebagian orang menganggap gila
Itulah saya
Terserah orang bicara